Tampilkan postingan dengan label wacanan islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wacanan islam. Tampilkan semua postingan

24 Juli 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Waspada ISIS !

Waspada ISIS !
Kelompok pro-ISIS di Solo
Kelompok pro-ISIS di Solo
KH. Alawi, tak ketinggalan menyinggung gerakan ISIS di Timur Tengah hingga gerakan Salafi Wahabi di Indonesia. Menurutnya, gerakan Salafi Wahabi yang berubah baju menjadi ISIS, yang kini berjamuran di Indonesia, memang disengaja dihadirkan untuk mencabik persatuan dan persaudaraan umat Islam. Untuk itu KH. Alawi mengingatkan agar umat Islam waspada atas segala upaya memecah belah kaum muslimin.
“Saya akan tegas dengan kelompok ISIS dan Salafi Wahabi. Saya bersama NU akan terus melawan mereka. Orang yang menumpahkan darah dan menyebut kafir kepada umat Islam yang tidak segolongan, bukan termasuk Islam,” lanjut Kiai Alawi yang disambut tepuk tangan yang riuh dari peserta.
Dr. Zargar mengingatkan bahwa perilaku para teroris ISIS dan Al-Nusra di Suriah dan Irak sangat sadis.
“Di Suriah dan Irak, teroris ISIS yang mengaku Islam dengan bangga membunuhi kaum muslimin kemudian memenggal kepala mereka. Sambil memegang kepala saudaranya, dia berdoa kepada Allah agar perbuatannya itu diterima sebaik-baiknya. Islam macam apa yang seperti itu?”
Kang Jalal turut menyampaikan, bahkan Ayatullah Ali Sistani (marja terbesar di Irak) pun telah berfatwa untuk melawan ISIS.
“Dulu, Ayatullah Ali Sistani melarang umat Islam Irak untuk melawan gerakan Salafi Wahabi, demi mempertahankan persatuan masyarakat Irak. Sekarang ini dengan kekejaman dan bahaya ISIS, Ayatullah Sistani menyatakan perang kepada mereka dan umat Islam Irak diwajibkan untuk turun melawan kezaliman kelompok ISIS,” jelasnya.
Potret kekejaman ISIS di Irak
Potret kekejaman ISIS di Irak
Kang Jalal juga mewanti-wanti masyarakat yang menyumbang untuk Palestina harus pada lembaga yang benar dan jelas disalurkan untuk Palestina. Menurutnya, jangan sampai bantuan salah saluran sehingga tidak sampai dan digunakan oleh orang-orang untuk menzalimi umat Islam.
Di akhir pembicaraan, Kang Jalal membaca hadis yang menyebutkan fenomena yang sekarang terjadi di Palestina, Irak, dan Suriah merupakan dekatnya dengan kehadiran Imam Mahdi Al-Muntazhar.
Salafi Wahabi Bukan Ahlussunah
KH. Alawi menyatakan Salafi Wahabi jangan mengekspoitasi istilah Ahlussunah untuk kepentingan kelompoknya, sedangkan akhlaknya jauh panggang dari api. Ia mengutip sabda Rasulullah saw,
“Dalam sebuah masjid Rasulullah berkumpul bersama sahabat. Kemudian ada yang bertanya kepada Rasul tentang tanda sunnah dan jamaah. Rasulullah menjawab, “Mereka adalah orang yang tidak mengkafirkan satu orangpun dari ahli tauhid walaupun mereka adalah pendosa”.
KH. Alawi menambahkan,
“Pernah juga Rasulullah tiba-tiba berkata, Wallahi la yukmin, wallahi la yukmin, wallahi la yukmin…”(Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman). Sahabat kemudian bertanya, “Siapa yang tidak beriman?” Rasul menjawab, ‘yaitu mereka yang tidak akur dan damai sama tetangganya”
Di penghujung acara, KH Alawi sempat berkelakar,“Rasul saja tidak anti dengan orang Yahudi atau Nasrani, kok orang-orang Salafi Wahabi itu bisa anti dengan orang Islam?”
Menurutnya, yang anti terhadap orang Islam itu hanya dari tiga golongan, yaitu Iblis, setan dan Salafi Wahabi.
0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Dari Solidaritas untuk Palestina, Menuju Persatuan Islam

LiputanIslam.com — Sore itu, dukungan terhadap perjuangan bangsa Palestina bergema di Bandung. Dalam seminar yang bertajuk “Solidaritas Untuk Palestina” yang diadakan di Aula Muthahari Bandung, pada Ahad, 20 Juli 2014, ratusan peserta hadir sebagai bentuk kepedulian atas perjuangan kemerdekaan Palestina, dan perlawanan terhadap penjajahan Israel.
Seminar dibuka oleh Ustad Miftah Fauzi Rahmat dengan menyampaikan kondisi terkini di Timur Tengah. Mulai dari teror yang dilakukan oleh kelompok Daulah Islam Irak dan Suriah (ISIS) hingga kondisi Palestina. Ia juga menyampaikan pesan Imam Khomeini, yaitu menggelorakan perlawanan kepada Israel dan menuntut kemerdekaan Palestina.  Imam Khomeini adalah Pemimpin Revolusi Islam Iran yang menggagas hari Jumat terakhir di bulan Ramadhan sebagai Hari Al-Quds Internasional.
Persatuan Islam
Dr. Ebrahim Zargar, asal Iran sebagai narasumber pertama, menyampaikan ceramahnya dalam bahasa Indonesia fasih. Ia mengatakan bahwa masalah Palestina berkaitan erat dengan persatuan Islam.
Allah berfirman tentang kaum Yahudi dalam surat Al-Hasyr ayat 14 Kalian mengira mereka (Yahudi) bersatu tapi hati mereka sebetulnya terpisah pisah. Mereka tidak bersatu karena mereka adalah kaum yang tak berakal.”
“Berdasarkan ayat ini, umat Islam yang tidak mau bersatu berarti tidak menggunakan akal mereka” ujarnya. Ia lantas mengutip Al-Hujurat ayat 10, “Sesungguhnya orang-orang Islam itu bersaudara.
Foto: LI
Foto: LI
Ia mengungkapkan keheranannya kepada orang Islam yang lebih senang sesama orang Islam, saudaranya sendiri ketimbang musuh sebenarnya yaitu Israel.Ia mencontohkan,“Eropa sekarang bisa bersatu. Mereka memiliki mata uang yang sama, visa yang sama. Padahal sebelumnya mereka berperang satu sama lain. Masa umat Islam tidak bisa?”
Dr. Zargar juga menekankan pentingnya persatuan umat Islam, dan hendaknya kita menghilangkan kecurigaan dan perpecahan di dalam tubuh Islam itu sendiri.
Setelahnya, Ustadz Miftah angkat bicara lagi dengan sebuah anekdot, bahwa jika seluruh orang Arab berjejer di perbatasan Israel dan kencing bersama, bisa dipastikan Israel kebanjiran. Namun sayang, untuk meminta kencing bersama saja susah, apalagi meminta yang lain.
KH Alawi al-Bantani: Athian Ali Tidak Berani Menghadapi Tantangan Saya
Berkaitan dengan persatuan umat Islam, Kiai Alawi al-Bantani yang merupakan tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), menyatakan kekecewaannya dengan negara-negara mayoritas Muslim yang tidak turut membantu Palestina secara serius. Alih-alih membantu saudara seimannya, malah menyuburkan sektarian.
“Saya sudah coba mengajak dialog Athian Ali yang menyebarkan kebencian kepada kaum Muslim. Sampai sekarang tidak berani menghadapi tantangan saya. Saya juga sudah kirim surat kepada Gubernur Jawa Barat untuk menindak orang-orang yang menyebarkan kebencian dan memprovokasi umat Islam untuk membenci sesama Muslim, khususnya Syiah,” ujar Kiai Alawi.
Foot: LI
Foot: LI
Narasumber selanjutnya adalah KH Jalaludin Rakhmat, yang akrab dipanggil Kang Jalal, salah satu tokoh di IJABI. Ia menyatakan dukungannya kepada KH Alawi dalam upaya memperkuat persatuan umat Islam.
Kang Jalal juga menyatakan bahwa kekalahan Israel sudah mulai terlihat. Menurutnya, dalam memperjuangkan persatuan Islam, kita harus bersabar. Contoh saja, Iran dan Suriah.
“Sebelum terjadi pemberontakan di Suriah, para pemimpin Hamas bertahun-tahun hidup tenang di Suriah dan mereka mengkoordinasikan perlawanan terhadap Israel bersama Iran dan Suriah. Namun saat pemberontakan meletus, Hamas justru condong kepada kelompok teroris dan memilih meninggalkan Iran, dan Suriah. Namun, setelah kelompok teroris kalah, Hamas kembali mendekati Iran, juga mendekati Suriah, dan kedua negara itu, walau pernah dikhianati, dengan sabar tetap membantu perjuangan Hamas dan penduduk Palestina.
“Kita harus sabar walaupun mereka tidak bisa bersabar kepada kita. Itulah akhlak Ahlul Bait,” jelas Kang Jalal.
Sayyid Mohades, salah satu narasumber dari Iran juga menyampaikan bahwa suatu hari nanti, Israel, sesuai dengan janji Allah, mereka akan hancur binasa. Bukan hanya  Israel, tetapi juga antek-anteknya seperti ISIS, Al-Qaeda, al-Nusra, dan Salafi Wahabi, beserta negara Barat pendukungnya, Insya Allah akan dikalahkan.

Bersambung ke Waspada ISIS

16 Juli 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Tentang Fitnah-fitnah itu

Cerpen FAHD PAHDEPIE



“Kiai, maafkan saya! Maafkan saya!” Aku tersungkur-sungkur di kaki Kiai Husain. Aku memegangi dua tungkai kakinya yang kurus. Aku berusaha merendahkan kepalaku sedalam-dalamnya. Tetes-tetes air mata mulai menerjuni kedua tebing pipiku. “Maafkan saya, Kiai… Maafkan saya…” Aku terus-menerus mengulangi kalimat itu.

Dua tangan Kiai Husain memegang lengan kiri dan kananku, “Bangunlah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.”

“Tapi, Kiai…” Aku terus berusaha merendahkan diriku di hadapan Kiai Husain yang sedang berdiri, “Bagaimana mungkin semudah itu? Bagaimana mungkin semudah itu?”

Kali ini Kiai Husain mencengkram kedua bahuku dan berusaha mengangkat tubuhku, “Berdirilah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.”

Dengan lunglai, aku berdiri. Aku terus menundukkan wajahku. “Bagaimana mungkin semudah itu, Kiai?” Aku terus mengulangi ketidakpercayaanku.

Kiai Husain tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau akan belajar dari semua ini,” katanya, “Apapun yang telah kau katakan tentangku, tak akan mengubah apapun dari diriku.”

Aku terus menundukkan kepalaku. Aku didera malu luar biasa oleh sosok yang dalam beberapa minggu belakangan bahkan beberapa bulan terakhir ini kujelek-jelekkan secara membabi-buta. Bukan hanya membicarakan hal-hal buruk darinya: kiai palsu lah, kiai partisan lah, kiai liberal lah—bahkan aku juga menyebarkan fitnah-fitnah keji tentangnya:Bahwa pesantrennya dibiayai cukong-cukong hitam, bahwa ia menganut aliran sesat, bahwa ia tak Ingin Islam maju, dan apapun saja yang bisa menjatuhkan harga diri dan nama baiknya.

Aku mentap Kiai Husain yang kini sedang merapikan beberapa kitab di rak-rak di ruang bacanya. Bagaimana mungkin selama ini aku tega menghina, menjelekkan dan memfitnahnya hanya gara-gara ia memiliki pilihan dan pendapat yang berbeda denganku? Padahal aku tahu hari-harinya dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama, waktu luangnya diisi dengan membaca al-Quran dan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, dan kebaikan hatinya telah meringankan serta melapangkan banyak kesulitan orang-orang di sekelilingnya. Apalah aku ini dibandingkan kemuliaan dirinya? Siapalah aku ini dibandingkan keluhura budi pekertinya?

***

“Kiai, ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga nada bicaraku, tak ingin sedikitpun sekali lagi menyinggung perasaannya.

Kiai Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya.

Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kiai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”

Kiai Husain terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Kiai Husain kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atautirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa jenak kemudian, Kiai Husain mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku—

“Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?” Aku benar-benar heran Kiai Husain justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.

“Maaf, Kiai?” Aku berusaha memperjelas maksud Kiai Husain.

Kiai Husain tertawa, seperti Kiai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.

Tampaknya Kiai Husain benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”

Kiai Husain tersenyum.

“Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”

Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud Kiai Husain adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…

“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Kiai Husain. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.

***

Keesokan harinya, aku menemui Kiai Husain dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.

“Ini, Kiai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, Kiai. Maafkan saya…”

Kiai Husain mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya. “Seperti aku katakana kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusatu…,” katanya.

Aku hanya terdiam mendengar perkataan Kiai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku.

“Kini pulanglah…” kata Kiai Husain.

Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Kiai Husain melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju pondokku tadi…”

Aku terkejut mendengarkan permintaan Kiai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.”

Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kiai Husain.

“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kiai Husain.

***

Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.

Tapi aku harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja!

Aku terus berjalan.

Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.

Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai.

***

Hari berikutnya aku menemui Kiai Husain dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Kiai Husain. “Ini, Kiai, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kiai Husain.

Kiai Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,”katanya.

Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, Kiai?” Aku benar-benar tak mengerti.

“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Kiai Husain.

Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.

“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kauhitung!”

Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.

“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”

“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”

Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai. “Astagfirullah al-adzhim… Astagfirullahal-adzhim… Astagfirullah al-adzhim…” Aku hanya bisa terus mengulangiistighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.

“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kiai. Ajari saya! Ajari saya!Astagfirullahal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.

Kiai Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.“ Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia… InnaLlaha tawwabur-rahiim...

Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!

“Kini kau telah belajar sesuatu,” kata Kiai Husain, setengah berbisik. Pipinya masih basah oleh air mata, “Fitnah-fitnah itu bukan hanya tentang dirimu dan seseorang yang kausakiti. Ia lebih luas lagi. Demikianlah, anakku, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan...”

Astaghfirullah al-adzhim!



Melbourne, 17 Juli 2014



*Cerpen ini diinspirasi oleh sebuah ceramah ba’da tarawih di Masjid Westall, Westbank Avenue, Calyton South, Victoria, Australia.

**Gambar ilustrasi diambil dari sini 

Fahd Pahdepie atau dikenal juga dengan nama pena Fahd Djibran adalah mahasiswa Postgraduate di School of Politics and International Relations, Monash University, Australia. Saat ini tinggal di Melbourne. Dapat ditemui di twitter @fahdisme
0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Harga Kecintaan pada Ahlulbait as

Seseorang datang mengeluh pada Imam Ali as.
Ia mengadu karena kemiskinannya. Imam menjawab: “Tidak, kamu orang kaya.”
Ia bertanya: “Bagaimana mungkin Ya Imam, sedang aku tidak punya apa-apa”.
Imam(as) berkata: “Kecintaanmu kepada kami Ahlul Bait(as). Maukah kau tukar cintamu dengan seratus dirham?”
Ia menjawab: “Tidak ya Imam.”. “Seribu Dirham?”.
“Tidak ya Imam…”.
“Sepuluh ribu dirham…?”.
“Tidak akan pernah Ya Imam…”.
Imam tersenyum dan berkata: “Lalu, bagaimana mungkin kau berkata kau tidak punya apa-apa ??”.
-Ya Allah Ya Rasul Allah,takkan kami tukar kecintaan ini dengan apa pun hingga akhir hayat kami

24 Juni 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Kisah Abu Nawas Ditipu Pemilik Media Massa

Para pemilik media saat ini tak ubahnya para pencuri dalam kisah abu nawas. Mereka mencuri kesadaran berdasarkan sebuah kerjasama korporasi yang juga didukung oleh para penggembiranya. Yang kemudian menarik adalah kemampuan abu nawas membalik keadaan yang merugikannya menjadi menguntungkan. kuncinya pada kecerdikan memanfaatkan euforia "kemenangan" para maling itu dengan siasat jitu. kiranya pendukung jokowi perlu berkaca pada kisah ini.

Karena kesulitan uang, Abu Nawas memutuskan untuk menjual keledai kesayangannya. Keledai itu merupakan kendaraan Abu Nawas satu-satunya. Sebenarnya ia tidak tega untuk menjualnya. Tetapi keluarga Abu Nawas amat membutuhkan uang. Dan istrinya setuju.

Keesokan harinya Abu Nawas membawa keledai ke pasar. Abu Nawas tidak tahu kalau ada sekelompok pencuri yang terdiri dari empat orang telah mengetahui keadaan dan rencana Abu Nawas. Mereka sepakat akan memperdaya Abu Nawas. Rencana pun mulai mereka susun. Ketika Abu Nawas beristirahat di bawah pohon, salah seorang mendekat dan berkata,

"Apakah engkau akan menjual kambingmu?" Tentu saja Abu Nawas terperanjat mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba.
"Ini bukan kambing." kata Abu Nawas.
"Kalau bukan kambing, lalu apa?" tanya pencuri itu selanjutnya.
"Keledai." kata Abu Nawas.
"Kalau engkau yakin itu keledai, jual saja ke pasar dan dan tanyakan pada mereka." kata komplotan pencuri itu sambil berlalu. Abu Nawas tidak terpengaruh. Kemudian ia meneruskan perjalanannya. Ketika Abu Nawas sedang menunggang keledai, pencuri kedua menghampirinya dan berkata.

"Mengapa kau menunggang kambing?"
"Ini bukan kambing tapi keledai."
"Kalau itu keledai aku tidak bertanya seperti itu, dasar orang aneh. Kambing kok dikatakan keledai."
"Kalau ini kambing aku tidak akan menungganginya." jawab Abu Nawas tanpa ragu. "Kalau engkau tidak percaya, pergilah ke pasar dan tanyakan pada orang-orang di sana." kata pencuri kedua sambil berlalu.

Abu Nawas belum terpengaruh dan ia tetap berjalan menuju pasar. Pencuri ketiga datang menghampiri Abu Nawas,"Hai Abu Nawas akan kau bawa ke mana kambing itu?" Kali ini Abu Nawas tidak segera menjawab. Ia mulai ragu, sudah tiga orang mengatakan kalau hewan yang dibawanya adalah kambing. Pencuri ketiga tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia makin merecoki otak Abu Nawas,

"Sudahlah, biarpun kau bersikeras hewan itu adalah keledai nyatanya itu adalah kambing, kambing... kambiiiiiing...!"

Abu Nawas berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon. Pencuri keempat melaksanakan strategi busuknya. Ia duduk di samping Abu Nawas dan mengajak tokoh cerdik ini untuk berbincang-bincang.

"Ahaa, bagus sekali kambingmu ini...!" pencuri keempat membuka percakapan.
"Kau juga yakin ini kambing?" tanya Abu Nawas.
"Lho? ya jelas sekali kalau hewan ini adalah kambing. Kalau boleh aku ingin membelinya."
"Berapa kau mau membayarnya?"
"Tiga dirham!" Abu Nawas setuju.

Setelah menerima uang dari pencuri keempat kemudian Abu Nawas langsung pulang. Setiba di rumah Abu Nawas dimarahi istrinya. "Jadi keledai itu hanya engkau jual tiga dirham lantaran mereka mengatakan bahwa keledai itu kambing?"

Abu Nawas tidak bisa menjawab. Ia hanya mendengarkan ocehan istrinya dengan setia sambil menahan rasa dongkol. Kini ia baru menyadari kalau sudah diperdayai oleh komplotan pencuri yang menggoyahkan akal sehatnya. Abu Nawas merencanakan sesuatu. Ia pergi ke hutan mencari sebatang kayu untuk dijadikan sebuah tongkat yang nantinya bisa menghasilkan uang. Rencana Abu Nawas ternyata berjalan lancar. Hampir semua orang membicarakan keajaiban tongkat Abu Nawas. Berita ini juga terdengar oleh para pencuri yang telah menipu Abu Nawas. Mereka langsung tertarik. Bahkan mereka melihat sendiri ketika Abu Nawas membeli barang atau makan tanpa membayar tetapi hanya dengan mengacungkan tongkatnya. Mereka berpikir kalau tongkat itu bisa dibeli maka tentu mereka akan kaya karena hanya dengan mengacungkan tongkat itu mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akhirnya mereka mendekati Abu Nawas dan berkata,

"Apakah tongkatmu akan dijual?"
"Tidak." jawab Abu Nawas dengan cuek.

"Tetapi kami bersedia membeli dengan harga yang amat tinggi." kata mereka.
"Berapa?" kata Abu Nawas pura-pura merasa tertarik.
"Seratus dinar uang emas." kata mereka tanpa ragu-ragu.
"Tetapi tongkat ini adalah tongkat wasiat satu-satunya yang aku miliki." kata Abu Nawas sambil tetap berpura-pura tidak ingin menjual tongkatnya.
"Dengan uang seratus dinar engkau sudah bisa hidup enak." kata mereka makin penasaran. Abu Nawas diam beberapa saat sepertinya merasa keberatan sekali.
"Baiklah kalau begitu." kata Abu Nawas kemudian sambil menyerahkan tongkatnya. Setelah menerima seratus dinar uang emas Abu Nawas segera melesat pulang. Para pencuri itu segera mencari warung terdekat untuk membuktikan keajaiban tongkat yang baru mereka beli. Seusai makan mereka mengacungkan tongkat itu kepada pemilik kedai. Tentu saja pemilik kedai marah.

"Apa maksudmu mengacungkan tongkat itu padaku?"
"Bukankah Abu Nawas juga mengacungkan tongkat ini dan engkau membebaskannya?" tanya para pencuri itu.
"Benar. Tetapi engkau harus tahu bahwa Abu Nawas menitipkan sejumlah uang kepadaku sebelum makan di sini!"
"Gila! Ternyata kita tidak mendapat keuntungan sama sekali menipu Abu Nawas. Kita malah rugi besar!" umpat para pencuri dengan rasa dongko
l

    Blogger news

    Blogroll

    About