13 Agustus 2014

Menikmati keelokan Tebing Keraton

Ketika para santri Pesantren Babussalam yang bertugas di kampung Ciharegeum, Desa Ciburial, memosting foto mereka di tebing yang kemudian dikenal tebing keraton, saya sudah penasaran ingin ke sana. Keindahannya bisa saya rasakan mengalir di urat-urat tubuh. Sayang memang saat Ramadhan tidak kesampaian untuk mampir dulu ke sana.

Lalu, ketika saya pergi ke Bromo, Kang Ayi menunggah artikel dari salah satu situs tentang kehebohan tebing keraton ini. Rasa penasaran saya semakin bertambah. Seberapa indah sih tebing heboh ini, pikir saya.

Sehari setelah tiba dari Bromo, saya segera pergi ke sana. Pagi-pagi sekali karena ingin melihat kabut yang mengalir pelan di antara pucuk-pucuk pinus yang hijau. Kontras dengan dedaunan dan sinar emas matahari pagi.

Pemandangan hebat seperti itu memang belum saya dapatkan karena kabutnya terlalu tipis dan sedikit. Itu masalah waktu, kondisi dan nasib saja. Namun saya memang mendapatkan pemandangan luar biasa. Di ketinggian itu kita bisa melihat hampir 360 derajat keindahanannya. Dari tebing ini kita bisa menikmati sunrise dan juga sunset.

Ada beberapa batu menonjol yang menjadi spot pavorit pengunjung untuk berfoto ria. Berfoto dari tonjolan batu itu memang sensasional. Buktikan saja.

Jalan menuju Tebing keraton
Memang belum ada petunjuk memadai ke Tebing Keraton. Namun seiring dengan publikasi gencar dari para netter, menuju ke sana sangatlah mudah. Dari Taman Hutan Raya Ir. H. Djanda ke arah utara kemudian belok kanan pada persimpangan pertama dan ikuti terus jalur utama hingga melewati Warung Bandrek. Dari sana sudah banyak tandak menuju ke arah Tebing Keraton. Dari warban ada tiga cabang jalan. Ambil saja jalan yang tengah dan ikuti terus jalan itu sampai bertemu dengan perkampungan dan kemudian Tebing Keraton.
Jalanan menuju Tebing keraton didominasi oleh tanjakan dengan jalan yang rusak, oleh karenanya dibutuhkan kendaraan yang fit dan keterampilan berkendara yang memadai. Apalagi ketika setelah hujan turun. Jalanan berbatu akan sangat licin. Sangat berbahaya untuk kendaraan. Saat saya ke sana ada beberapa kendaraan yang tergelincir. Saat hujan, akan lebih aman kendaraan (apalagi mobil) untuk parkir di perkampungan. Sisanya ya, jalan kaki. cukup jauh dan meletihkan. Tapi kan lebih baik selamat ketimbang celaka.
Bagi yang tidak punya kendaraan atau malas jalan kaki, bisa juga pakai ojeg dari Warban. Tarif bisa beragam. Umumnya 5-10 ribu. Tarif ojeg dari terminal Dago pasti lebih mahal lagi. 
Tidak jauh dari persimpangan terakhir, siapkan lima ribu rupiah untuk biaya parkir motor dan sepuluh ribu rupiah untuk mobil. Dari pos ini pemandangan atas bukit sudah bisa dinikmati. Hanya sekitar berapa menit lagi menuju Tebing Keraton. 
Terakhir ke sana (12/8/14) untuk bisa menikmati keelokan tebing keraton pengunjung harus merogoh kocek agak dalam. Tiket untuk wisatawan lokal 11.000, untuk turis asing 76.000.
Sayang, dengan tiket sebesar itu belum tersedia fasilitas pendukung semacam jalan dengan paving blok, pagar pembatas tebing dan toilet. Mungkin karena booming secara tiba-tiba, akhirnya persiapan tempat wisata ini belum maksimal.
Yang tak sebaiknya dilakukan
Nah ini kebiasaan buruk pengunjung kita. Sampah dibuang sembarangan, vandalisme dan tidak memelihara tanaman. Jika anda berkunjung ke sana, jadilah pengunjung yang bertanggung jawab. Jangan hanya ingin melihat dan menikmati keindahan alam tapi tak mau memeliharanya.
Taati waktu yang sudah ditetapkan. Di tempat penjualan tiket, Tebing keraton dibuka dari jam 6 pagi hingga 6 sore. Namun banyak pengunjung yang datang pada dini hari, atau pulang hingga malam larut. Hal ini banyak dikeluhkan oleh penduduk setempat yang merasa terusik kenyamanannya.







2 komentar:

terima kasih sudah memberikan komentar pada posting ini... sukses selalu

    Blogger news

    Blogroll

    About