26 Januari 2008

Berjuang dengan gembira

Saya merasa beruntung mendapat pandangan kemuhammadiyahan dari al-mukarom Djindar Tamimy. Di mata mantan sekretasris Muhamamdiyah itu, Muhammadiyah lebih "hidup", "bernyali" dan enak dicerna. Pak Djindar mengajarkan Muhammadiyah dari hal yang paling mendasar. Apa Muhammadiyah dan Kenapa harus Muhammdiyah.
Dia mengharuskan setiap siswa Muallimin, saat itu, untuk hapal, memahami dan menunjukkan dalam praktek nyata. Bagi sebagian kawan saya saat itu, pelajaran Muhammadiayah begitu mendalam dan menukik. Meski tidak sedikit yang tertidur dan main gaple di kelas saat Pak Djindar "ngoceh" tentang Muhammadiyah.
Matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiha (MKCH), bagi Pak Djindar, harus dihapal, dimengerti dan perlu adanya penafsiran yang benar. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya betul-betul dengan ikhlas beliau tanamkan pada kami. "Bagaimana kalian akan menjelaskan Muhamamdiyah kepada semua orang, jika keyakinan dan cita-cita hidupnya saja tidak kalian hapal dan pahami, apalagi tidak dilaksanakan? Begitu kira-kira, kritik Pak Djindar terhadap calon kader Muhammadiyah.
Tidaklah mengherankan, jika kemudian, Pak Djindar mengajarkan materi MKCH sampai tiga tahun. Suatu yang sangat berat bagi kami. Tapi, dari situ, sebagian dari kami memahami arah Muhammadiyah harus kemana. Lantas jika sekarang Muhammadiyah limbung tak tahu arah, serba gagap, gagu, kadang tertipu. Pak Djindar sudah memprediksi. "Pemimpin kita tidak hapal dan paham keyakinan hidup dan cita-cita Muhammadiya!
Sehingga kita, tidak jarang, menjumpai pemimpin Muhammadiyah menjawab persoalan seperti memberi "aspirin" pada rasa sakit. Sakit hilang tapi racun mengendap dan menimbulkan kompleksitas.
Saya jadi teringat sama sahabat tercinta. Usman Effendi. Kawan saya dari Ambulu Jember. Dialah satu-satunya yang selalu dipuji Pak Djindar. Dia hapal diluar kepala MKCH Muhammadiyah. Paling tidak, dia telah menyelamatkan kami dari murka Pak Djindar, karena, saat itu, kami belum pada hapal.
Meski, tidak begitu aktif di Muhammadiyah, sahabat saya itu, masih lincah berbicara Muhammadiyah. "Paling tidak, saya sudah punya modal untuk jadi ketua ranting Muhammadiyah. Kalu nggak ya, jadi KOKAM yang hapal MKCH Muhammadiyah, " kata dia. Ditambah, "Saya bisa kelahi. karena selama tiga tahun saya belajar Tapak Suci. Kurang apa lagi? he..he..he.
Sekarang, saya menyangsikan, sistem pengkaderan Muhamdiyah menyentuh hal yang paing mendasar dari sebuah gerakan. Keyakinan dan cita-cita hidup pergerakan telah luntur bahkan tidak punya sama sekali. Oleh kader kita sendiri. Di rumah kita sendiri. Di Madrasah Muallimin Muhammadiyah. Tempat persemaian calon poksai, beo dan kutilang berbahasa arab, saat ini.
Nurochman Arrazie
Mantan Ulama Setempat

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah memberikan komentar pada posting ini... sukses selalu

    Blogger news

    Blogroll

    About