Islah warga Sampang (Antaranews) |
Islah (perdamaian) antara warga muslim Syiah dan Sunni di Sampang Madura masih sepertinya masih akan berbuntut panjang. Setelah beberapa ulama dan Pemda menolak adanya islah. Seperti tak mau ketinggalan Menag SDA mengatakan bahwa ada yang bermain islah di Sampang (Kompas 30 sept 2013). SDA mengatakan Bisa jadi ada pihak yang ingin menari di atas konflik itu.
Pernyataan ini sungguhlah aneh. Pertama, mengapa ada orang yang damai karena konflik malah dipermasalahkan hanya karena pemerintah tidak dilibatkan? Ketika konflik merebak dan para pengungsi Sampang itu mencoba mencari dukungan untuk hak-hak mereka, adakah Pemerintah dan Menag hadir? Ketika para pegowes Sampang tiba di Jakarta dan mengadukan nasibnya pada presiden negeri ini, apakah Menag menyambut mereka sebagai salah satu rakyatnya dan memberikan bantuan?
Kedua, jika perdamaian adalah jalan akhir yang ingin dicapai dari sebuah rekonsiliasi seperti yang diinginkan Presiden, Mestinya, ketika terjadi islah antara kelompok yang berselisih pemerintah harus menguatkan dan menjadi perekat kuat bukan malah menuding sana-sini. Dengan menuding dan mengatakan bahwa ada yang ingin menari di atas konflik itu -justru ketika islah sudah tercapai, maka SDA menunjukan bahwa dirinyalah yang ingin menari dan ingin memelihara konflik itu.
Ketiga, Seberapa besar kemampuan pemerintah dalam menangani konflik-konflik sektarian? Mendagri melansir bahwa pada tahun 2010-2013 telah terjadi 351 konflik yang bernuansa SARA (Sindonew, 9 September 2013). Dari sekian kasus itu berapa yang sudah sudah diselesaikan? yang saya tahu, sampai saat ini, kasus Ahmadiyah belum bisa diselesaikan padahal kasusnya lebih lama dari kasus Sampang. Belum lagi kasus pemblokiran gereja di Tanggerang dan banyak kasus lainnya. Daripada merecoki yang sudah jelas islah (walau tanpa kehadiran pemerintah yang harusnya mendukung), lebih baik merekatkan dan menguatkan islah tersebut.
Keempat, Islah yang dilakukan warga ini bisa menjadi model dalam penyelesaian kasus-kasus SARA. Di mana ada masyarakat yang terpovokasi oleh sekelompok orang yang anti tolerasi dan ada masyarakat yang menjadi korban. bukankah Menag pernah mengatakan, konflik agama itu wajar, yang tak wajar “tukang kompor”. maka Menag harusnya lebih giat melakukan pencegahan konflik agama ini bukan malahan yang jadi kompornya. Menag harusnya mempelajari mengapa bisa terjadi islah bukan memperkeruh yang sudah diupayakan dengan susah payah di akar rumput.
Kelima, Memangnya tidak boleh ya menari dan merayakan perdamaian yang disepakati? Menurut saya, perdamaian adalah salah satu momen yang mesti dirayakan. Maka menarilah para pencapai kedamain dan marahlah pemelihara permusuhan.
Terakhir, mendamaikan dan memelihara perdamaian itu pilihan bijak dan memelihara permusuhan itu adalah pilihan terlaknat. Allah mengatakan “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Al Hujurat : 9) dan Rasulullahbersabda “Orang yg sangat dibenci Allah SWT itu ialah orang yg memperuncing (memperberat) permusuhan.” (HR. Muslim).
0 komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah memberikan komentar pada posting ini... sukses selalu