KH Alawi Nurul Alam Al Bantani adalah kyai muda NU yang sangat istimewa. Selain berdakwah lisan sebagaimana umumnya para kyai NU, beliau sangat aktif menulis buku. Minimalnya, ada 55 judul buku yang telah ditulisnya, antara lain berjudul Allah pun Bershalawat, Mengapa Kita Tidak (40 Keajaiban Sholawat), Ustadz Salafi Wahabi (Persis) Bertanya Al Bantani Menjawab, dan Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa “Merah” MUI & DDII. Ditambah lagi dengan gaya orasinya yang memikat, membuat pengajian dari anggota Tim Aswaja Center Lembaga Takmir Masjid (LTM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini sayang untuk dilewatkan.
Pada hari Rabu (16/04/14) lalu, KH Alawi Al Bantani menyampaikan pengajian bertema Persatuan Sunni dan Syiah berdasarkan Deklarasi Amman di Mesjid Raya Bandung. Di hadapan lebih dari 300 jamaah yang hadir, beliau menyatakan bahwa kerukunan Sunni dan Syiah akan menguatkan Islam dan sebaliknya, perpecahan di antara kedua madzhab Islam ini akan semakin melemahkan Islam. Menurutnya, perpecahan itu memang sengaja didesain agar umat Islam selalu ribut di antara sesamanya dan melupakan urusan yang lebih penting, yaitu memegang pos-pos penting di pemerintahan.
Pentingnya Meniru Rasulullah SAW
KH. Alawi Al Bantani mengatakan, sejak zaman dulu, bahkan sebelum Indonesia merdeka, yang dibutuhkan adalah sosok yang agamis dan nasionalis, sebab dengan terkumpulnya dua karakter ini tidak akan berusaha memecah belah umat.
“Kalau cuma beda madzhab tak usah saling mengkafirkan. Harusnya kita meniru Rasulullah. Rasul saja sangat ramah kepada orang yang beda agama apalagi cuma beda madzhab. Ulama mesti memiliki visi ukhuwah Islamiyah,” tegas KH. Alawi.
“Jika ada ulama yang senang dengan perpecahan tandanya pemahaman agama mereka belum mencapai level yang mapan dan mantap. Mereka hanya ingin kita ikut Islam gaya mereka dan membuat Islam kacau balau,” lanjutnya.
KH. Alawi menyebut Risalah amman yang dideklarasikan pada tahun 2004. “Jika ulama dan Kiyai tidak mengetahui keberadaan Risalan Amman, maka dia sudah ketinggalan informasi hampir 10 tahun!” tegasnya.
Mazhab-Mazhab yang Diakui Islam dalam Risalah Amman
Risalah Amman adalah adalah sebuah deklarasi yang diterbitkan pada 9 November 2004 (27 Ramadan 1425 H) oleh Raja Abdullah II bin Al-Hussein dari Yordania yang menyerukan toleransi dan persatuan dalam umat Islam. Risalah ini ditandatangani juga oleh wakil-wakil resmi dari Indonesia, KH. Hasyim Muzadi (PBNU), Prof. Dr. Dien Syamsuddin (Muhammadiyah) dan Maftuh Basyuni (wakil pemerintah). Saat itu, ada sekitar 200 ulama berbagai mazhab dari lebih 50 negara yang tanda tangan dan hingga kini proses penandatanganan masih berlanjut. Saat ini sudah lebih dari 500 ulama dunia yang tanda tangan.
Dalam Risalah Amman, ada fatwa dengan 3 pasal yang mengangkat masalah: kriteria Muslim; takfir(pengafiran) dalam Islam, dan dasar-dasar yang berkaitan dengan pengeluaran fatwa. Risalah Amman juga berisi pengakuan atas 8 (delapan) mazhab dan ajaran Islam yaitu: Sunni Hanafi, Sunni Hambali, Sunni Maliki, Sunni Syafi’i, Syiah Ja`fari, Syiah Zaydi, Ibadiyah, Zahiri. Menurut KH. Alawi, berdasarkan Risalah Amman ini, kelompok wahabi malah tidak disebutkan.
Risalah Amman juga melarang penyebutan kafir bagi pengikut ajaran: Ash`ari, Tasawwuf asli, Salafi sejati, dan pelarangan menyebut kafir terhadap Muslim yang diakui ajarannya.
KH. Alawi mengatakan, “Jika ada orang islam yang mengatakan bahwa salah satu madzhab yang disebut dalam Risalah Amman itu kafir, maka justru orang itu yang kacau.”
Lebih lanjut KH Alawi mengatakan bahwa pembahasan takfir ini merupakan pembahasan yang sulit dan dalam. Tak mudah mengkafirkan orang lain. Apalagi oleh orang yang ilmunya cetek. Kita tidak boleh mengafirkan orang hanya karena beda rukun iman, karena dari sahabat saja rumusan rukun imannya beda-beda.
KH. Alawi lalu mengutip sebuah hadis, tidak akan berkumpul di dalam surga satu di antara dua orang yang mengatakan kepada saudaranya, ‘ya kafir!’. “Lalu, bagaimana mungkin kita akan mengafirkan pengucap syahadat yang jumlahnya sangat banyak seperti saudara kita dari madzhab Syiah?” katanya.
Deklarasi Abal-Abal di Bandung
Selama beberapa hari terakhir, media sosial dan bahkan juga media nasional memberitakan adanya rencana Deklarasi Anti-Syiah yang akan diselenggarakan di Bandung tanggal 20 April. Menurut KH. Alawi Al Bantani, acara deklarasi ini mengandung banyak hal yang janggal. Pertama dari segi tempat. Jika deklarasi ini memang berskala nasional, mengapa tidak menggunakan Mesjid Raya Bandung? Mengapa acara tingkat nasional itu hanya menggunakan mesjid tingkat RW ? Kedua, konotasi dari kata tingkat nasional juga meniscayakan keikutsertaan hampir semua elemen masyarakat dan ormas muslim. Namun dari pembicara yang disebut dalam poster itu tidak ada satu elemen penting ormas muslim yang hadir. Semua pembicara itu adalah Wahabi, tak satupun ulama Ahlu Sunnah yang disebut dalam poster itu.
Lebih lanjut, KH Alawi mengkritik, “Yang tak elok dari penyelenggara deklarasi itu adalah akan menggunakan masyarakat awam untuk menjadi bemper pergerakan takfiri mereka.” Yang dimaksud beliau adalah rencana penyelenggara deklarasi itu untuk membagikan kaos bertuliskan kebencian terhadap Syiah terhadap para tukang becak. Dalam hal ini masyarakat yang tidak paham tentang Sunni dan Syiah dijadikan tameng untuk menghantam Syiah. KH Alawi menyayangkan pihak kepolisian tidak menindak aksi tersebut.
Gubernur Jabar Akan Hadir?
Ketidakhadiran ulama-ulama Jawa Barat pun mendapat sorotan dari KH. Alawi. Beliau menyebutkan, nama-nama yang ditulis dalam poster deklarasi itu hampir semuanya dari luar Jawa Barat.
“Memangnya di Jabar ini tidak ada kiyai yang mumpuni? Apakah KH. Hafidz Utsman misalnya, Ketua MUI Jabar, tidak bisa menerangkan tentang hal ini? Ataukah beliau tidak mau datang karena sudah tahu agenda tersembunyinya?” kata KH Alawi.
Mengenai kehadiran Gubernur, KH. Alawi mengatakan, “Saya yakin gubernur tidak akan hadir di acara itu karena kehadirannya di acara itu akan membuat stigma bahwa dirinya adalah penasehat Wahabi takfiri di Bandung dan Jawa Barat, dan itu tidak menguntungkan dirinya.”
“Jikapun nama gubernur ditulis dalam poster, itu hanya sekedar untuk hiburan diri panitia yang ingin acaranya dihadiri gubernur dan tipuan buat ummat,” lanjutnya.
Mengapa Syiah Mesti Dibenci?
Selanjutnya, KH. Alawi menyebutkan menyebutkan bahwa perbedaan Sunni dan Syiah itu hanya ada pada 17 masalah furu’ (cabang) bukan pada masalahushul (pokok). Dan perbedaan dalam masalah furu’tidak menyebabkan orang menjadi kafir. Dalam Islam perbedaan ijtihad adalah keniscayaan. Keduanya mendapat pahala. Bagi yang benar dua pahala dan yang salah dapat satu pahala.
KH. Alawi menyebutkan sebuah hadis yang membedakan sebutan Syiah dan rafidah. Menurut KH. Alawi, sebutan Syiah memang sudah diberikan oleh Rasulullah kepada para pencinta dan pengikut Imam Ali kw. “Dari Ummu Salamah ia berkata: Baginda Nabi bersamaku pada suatu malam, ketika putrinya Hadrat Fatimah datang menyampaikan salam bersama suaminya Ali. Rasulullah mengangkat kepalanya dan berkata, ‘bergembiralah wahai Ali! Engkau dan Syiahmu berada dalam surga’”
“Berdasarkan hadis ini, jelas Syiah bukan rafidah. Memang ada orang Syiah yang suka menjelek-jelekan sahabat Nabi. Namun itu hanya segelintir orang saja. Jangan hukumi semua jelek karena ulah sekelompok orang,” jelas KH. Alawi. (fm/dw/LiputanIslam.com)
0 komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah memberikan komentar pada posting ini... sukses selalu