22 Februari 2014

Sang Guru yang Tak Tuli

Seorang wanita mendatangi Abu Abdillah Hatim seorang penghulu kaum urafa abad ke-3. Saat berbincang-bincang wanita itu kentut dan mengeluarkan suara agak keras. Wanita ini merasa malu karena telah melakukan kekurang ajaran di hadapan seorang guru sufi ternama. Hatim tahu hal itu. Untuk menjaga kehormatan wanita itu, Hatim berkata, "Hai. Keraskan lagi suaramu. Aku tak mendengarnya". Wanita itu merasa tenang kentutnya tak didengar Sang Guru. Padahal Hatim berpura-pura tuli agar wanita itu tak merasa malu di hadapannya. 

Setelah itu, Hatim selalu berkata kepada orang yang berbicara kepadanya, "Keraskan lagi suaramu. Aku tak mendengarnya". Orang kemudian mengira bahwa Hatim memang betul-betul tuli. Maka dari itu penduduk kota menggelarinya dengan nama Al Asham (yang tuli).

Suatu hari, ketika berkumpul mengadakan pengajian bersama murid-muridnya, Hatim mendengar suara yang sangat lembut. Mendengar suara lembut itu Hatim bangkit dari duduknya dan segera melihat atap kamarnya.

Seekor lalat terperangkap jaring laba-laba.Lalat itu terjerat sedemikian erat. Setiap usaha yang dibuatnya untuk melepaskan diri sia-sia dan malah semakin membuatnya terjerat semakin erat.

Hatim Al Asham merasa mendapat pelajaran penting pada peristiwa itu. Dia berkata, "Jika kau terjerat ketamakan. maka engkau seperti lalat dalam jeratan laba-laba. Setiap kali engkau berusaha melepaskan diri maka jerat itu akan semakin kuat dan makin kuat. Engkau butuh niat dan usaha yang sangat besar untuk lepas dari jeratan itu."

Beberapa murid merasa takjub. Sebab Hatim dikenal tak memiliki pendengaran yang baik bahkan cenderun tuli total. Namun mengapa dia bisa mendengar suara sayap lalat yang sangat lembut?

Seorang muridnya bertanya, "Wahai tuan guru, engkau hampir tak bisa mendengar suara teriakan kami, namung mengapa suara lembut sayap lalat bisa kau dengar? jangan-jangan engkau tidak tuli?

Hatim tersenyum dan berkata, "Kejelianmu mencengangkanku. Sekarang dengarlah, manusia yang tuli sekalipun lebih baik kedudukannya dibandingkan yang memiliki pendengaran sempurna namun dipergunakan untuk yang tidak benar."

"Orang-orang dekatku, karena kecintaannya padaku, sering memujiku setinggi langit dan menutup mata dari kekuranganku. Hal seperti itu sering kali membuatku terbang jauh melambung tinggi. Kalu sering mendengar yang seperti itu sifat sombong dan takaburku memuncak."

"Ketika mereka mengenalku sebagai orang tuli maka mereka akan membicarakan kekurangan dan aibku tanpa khawatir diketahuiku. Pada saat itulah aku mengenal kekurangannku dan aku berusaha memperbaiki diriku sendiri. itulah sebabnya aku terus memposisikan diriku sebagai orang yang bolot dan tuli." (disarikan dari Qesshe ha ye Gulestan va Bustan)


0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah memberikan komentar pada posting ini... sukses selalu

    Blogger news

    Blogroll

    About