23 Februari 2014

Halalkah Gaji Saya?

“Saya tidak mau berangkat ibadah ke tanah suci dari uang orang itu. Banyak orang menceritakan kepada saya. Kalau 1 orang, mungkin saya masih kurang percaya. Ini ada 5 orang , ceritanya sama semua. Orang yang mau memberangkatkan saya ternyata seorang rentenir , Mas. Dia kerja sama orang kaya yang senang memeras orang dengan meminjamkan uang. Bunganya besar. Nanti kalau yang meminjam tidak bisa bayar, setiap hari bunga makin bertambah. Bunga berbunga. Saya tidak mau celaka di tanah suci, Mas” Potongan dialog dalam  artikel berjudul Pak Didik, Penjual Empal Gentong Menolak Umroh Gratis, serta merta menyeret ingatan saya padapemuda Cecep yang pernah saya ceritakan di K dan juga blog saya.
Cecep bekerja di sebuah cafe di Bandung, sebuah tempat yang menurut Cecep sendiri menjual barang-barang haram. Dia mendapatkan gaji bulanan dan bonus dari hasil menjual barang-barang itu. Kondisi itu membuatnya serba salah. Kalau diterima berarti dia menerima gaji dari hasil jualan barang haram. Di sisi lain kalau tak diterima dia sangat membutuhkan uang gajinya tersebut. Baginya itu adalah dilema.
Setelah dia menceritakan detil-detil pekerjaannya, dia mengejar saya dengan pertanyaan “Halalkah gaji saya?”. Menjawabnya  adalah dilema. Saya pun tak menjawab pertanyaannya. Kepadanya saya hanya mengatakan “terus saja bekerja di situ sampai kamu mendapat pekerjaan yang lebih baik, pergunakan uangnya sebaik-baiknya “.
Sambil menjawab saya berharap dia mendapat pekerjaan yang baik yang tak bertolak belakang dengan nuraninya.  Saya bersyukur dipertemukan dengan Cecep (dan juga membaca artikel Pak Didik), seorang pemuda yang peduli dengan uang yang diterimanya.  Setiap ingat dirinya saya diingatkan untuk dapat memberi rezki kepada keluarga dari jalan yang halal.
Salam

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah memberikan komentar pada posting ini... sukses selalu

    Blogger news

    Blogroll

    About