Saya berupaya mengingat-ingat, berapa masa pemilu yang saya ikuti. Ada kelebat-kelebat bayangan pemilu yang mampir di pikiranku. 1987, ketika SMP kelas 2 saya pernah ikut-ikutan kampanye PPP. Saat itu tentu saja belum termasuk calon pemilih. Hanya ikut-ikutan keramaian. PPP saat itu mengidendikan diri sebagai rumahnya (partai) orang islam. Saya bisa mengingat karena saat itu saya bisa naik truk keliling Yogyakarta. Pemilu tahun 1992, babar blas, saya tak ingat apapun tentang pemilu karena sibuk mengurus administari pelajar luar negeri di Qom, Iran. Tak ada kampanye dan tak ada pencoblosan. Tahun 1997, saya ikut pencoblosan tapi masih tanpa kampanye. Sampai tahun itu, hanya ada tiga partai di Indonesia, PPP, PDI dan partai Pemerintah yaitu GOLKAR. Demi kemaslahatan bersama, saat itu kami bersepakat untuk mencoblos GOLKAR. Maklum saat itu kan masih suasana Orde Baru.
Setelah
tahun itu, suhu perpolitikan di Indonesia mengalami pergolakan yang kemudian
meruntuhkan rezim Soeharto. Tahun 1999 adalah pemilu pertama pasca runtuhnya
Soeharto. Saat itu ada sedikit perdebatan hangat di antara kami, pelajar,
terkait pencoblosan. Apakah masih akan diseragamkan atau dibebaskan. Kata akhir
disepakati untuk dibebaskan. Karena itu ada sedikit orasi kampanye dari tiap
tiap pendukung. Di rumah pelajar saat itu beberapa orang mewakili partai-partai
yang sangat banyak. 3 Partai zaman Orba masih ada “pendukung” namun suara
terbesar memang mengarah ke PAN yang digerbongi Amien Rais. Dari hasil penghitungan
PAN mendapat kemenangan mutlak di Qom, Iran.
Pemilu
tahun 2004 dan 2009 saya ikut mencoblos (semua) tapi tidak pernah ikut-ikutan
dalam gegap gempitanya kampanye. Baru tahun 2014 ini saya ikut dalam kampanye.
Sebabnya tak lain adalah karena sosok KH. Jalaluddin Rakhmat yang dicalonkan
oleh PDI-P menggantikan posisi Taufik Kiemas. Dipasang di nomor urut 1 oleh
partai bernomor 4 ini, Ustad Jalal mendapat wilayah yang luas dan juga dihuni
oleh orang-orang yang sudah terkenal. Boleh jadi ini adalah wilayah di mana
bintang-bintang bertaburan.
Ternyata
bukan saya saja yang baru pertama kali ikut kampanye seperti ini. Teman-teman
satu mobil di rombongan Ustad Jalal juga sama. Alasan mereka ikut kampanye juga
sama, karena Ustad Jalal. “Tak terbayang ya, ikutan kampanye,dari PDI-P lagi”
kata seorang ibu muda. Yang lain menimpali, “Iya ya. Bahkan sampai blusukan ke
daerah-daerah terpencil”. Jadinya ya seperti yang senasib sepenanggungan deh.
Seperti
itulah ketika kecintaan pada guru
terwujud. Ustad Jalal adalah guru buat banyak orang. Bapak buat para pencari
pencerahan. Perkhidmatan kepada guru adalah sesuatu yang mulia. Akhirnya
kemanapun dia melangkah, akan diikuti dengan khidmat tanpa harus kehilangan
pola pikir yang kritis.
0 komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah memberikan komentar pada posting ini... sukses selalu