09 Februari 2015

Mengasah Jiwa dalam Voluntourism


Mesjid di Teluk Dalam,menjadi jejak membanggakan dalam hidupku
Salah seorang siswaku menandaiku di foto sebuah masjid di Teluk Dalam Nias Selatan. Mesjid itu terbilang sederhana, namun perjalanan terwujudnya mesjid itu tidak sederhana. Ada kisah panjang menandai dibangunnya mesjid itu.

Kisahnya dimulai ketika tsunami dahsyat melanda Aceh, Simeulue dan Nias. 200 ribu jiwa tewas menyedihkan dalam musibah besar di akhir tahun itu. Semua anak bangsa bersatu padu membantu saudara-saudaranya yang terkena musibah. 

Walau bukan yang pertama membantu Aceh dan Nias namun saya cukup beruntung dapat ikut berpartisipasi membantu saudara-saudara di Aceh dan Nias serta menorehkan jejak yang membanggakan.

Beberapa dokumentasi pembangunan di Teluk Dalam
Sebelum membangun mesjid di Nias Selatan, saya ditunjuk untuk menjadi pimpro pembangunan sekolah di Aceh Besar dan Meulaboh. Di Aceh Besar kami mendapat wakaf 1 ha tanah dari keluarga H. Mawardi. Di atas tanah itulah sebuah sekolah menengah yang cukup megah kami bangun. 

Di Meulaboh kami mendapat wakaf tanah 25 ha. Di sini, konsep bangunan terpadu dibangun. Sebuah bangunan besar dengan sebuah hall besar di tengah, dikelilingi oleh ruang kelas yang cukup banyak. Bangunan megah ini kemudian diserahkan ke pemda yang saat itu sekda nya merupakan ketua cabang yayasan Babussalam. 

Setelah pembangunan di Aceh hampir rampung, saya diperintahkan lagi untuk membangun mesjid di Nias. Awalnya mesjid akan dibangun di Gunung Sitoli, Nias. Namun karena ada permintaan dari masyarakat Teluk Dalam, Nias Selatan, maka pembangunan mesjid dialihkan. 

Saat di Aceh
Membangun di daerah bencana seperti Aceh dan Nias bukanlah perkara mudah. Selain pasokan bahan bangunan yang kebanyakan disuplai dari tempat yang jauh, tenaga pegawai juga harus kami bawa dari Bandung. Coba deh bayankan, semua baja untuk membangun mesjid di Nias Selatan, didatangkan dari Medan.

Masih untung kalau cuaca laut cukup bersahabat sehingga kapal pembawa baja bisa bersandar di pelabuhan Nias Selatan. Jika tidak, maka jadwal pembangunan bisa molor. Beberapa kali kapal pembawa baja harus bersandar di Pulau Batu karena cuaca sangat buruk. 

Belum lagi, Nisel masih sering diguncang gempa. Saya masih ingat, satu sahur bulan Ramadhan, tiba-tiba saja bumi bergoyang cukup keras. Saya dan teman sekamar segera berlarian keluar kamar sambil membawa piring yang isinya entah berhamburan ke mana. 

Di Makam Syiah Kuala, Aceh
Itu kondisi di lokasinya. Perjalanan menuju Nisel sendiri adalah sebuah perjuangan. Jika tak dapat pesawat maka harus menggunakan bis dan naik kapal di Sibolga. Sebuah perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. 

Nah di sela-sela pembangunan seperti itulah saya mencuri-curi waktu untuk berkunjung ke tempat-tempat wisata dan bersejarah. Di Aceh, saya mengunjungi beberapa tempat seperti ke Indonesia KM 0, PLTD Apung,  makam Syiah Kuala, Mesjid Baiturahman, Mata Ie dan tempat-tempat menarik lainnya. 

Perjalanan dari Banda Aceh ke Meulaboh dengan menggunakan elf juga adalah perjalanan yang menegangkan. Saat itu masih banyak razia-razia entah dari kelompok mana yang sering menghentikan mobil di tengah hutan belantara. Betul-betul mendebarkan hati. 

Moda transportasi saat ke Meulaboh
Di Nias, mengunjungi Bawomataluo tak saya sia-siakan. Kampung adat yang terkenal dengan loncat batunya itu sangat menarik untuk dikunjungi.  Selain itu, Sorake adalah kunjungan lainnya. Sorake adalah pantai indah dengan ombak besar yang mengundang para peselancar untuk mengarunginya. 

Di Nias, satu hal yang ekstra hati-hati adalah soal makanan. Kami harus mencari warung makan yang aman kehalalannya. Di Teluk Dalam, muslim memang minoritas dan kebanyakan warung makan menjual makanan daging yang tak halal buat kami. Beruntung salah seorang kerabat DKM masjid mau memasakan makanan buat kami selama di Teluk Dalam. 

Sayangnya dokumentasi pribadi yang dulu banyak saya upload di Multiply kebanyakan hilang setelah layanan MP dimatikan. Hanya ada beberapa dokumen yang bisa saya selamatkan. Ah, tak mengapa lah. Yang penting saya masih bisa membuat jejak yang baik di beberapa tempat.

Salah satu bangunan yang diserahkan ke Pemda Meulaboh
Bagi saya, setiap perjalanan adalah sebuah wisata yang dapat membentuk jiwa. Apalagi dalam bingkai kegiatan kemanusiaan seperti membangun sekolah, masjid dan mengajar. Sungguh perjalanan batin luar biasa. Saya betul-betul beruntung bisa melakukan keduanya.

Ketika kamu ingin pergi ke suatu tempat, pertama kali hatimu yg akn pergi untk menyaksikan & meneliti keadaan di tempat itu, lalu ia akan kembali untk mendorong tubuhmu.
*Rumi
Bagian dalam gedung di Meulaboh
Bersama Bapak dalam perjalan ke Aceh



0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah memberikan komentar pada posting ini... sukses selalu

    Blogger news

    Blogroll

    About